FaktorPenyebab Globalisasi 1. Perkembangan Teknologi Informasi dan Transportasi 2. Kerjasama Ekonomi Internasional 3. Kemudahan Dalam Pengiriman Barang dan Jasa 3. Konflik Antar Negara Semakin Berkurang 4. Sumber Daya Alam Berkurang Dampak Globalisasi 1. Dampak Positif Globalisasi 2. Dampak Negatif Globalisasi Pengertian Globalisasi Adalah
MenurutAnthony Giddens, perubahan politik dunia merupakan kekuatan penggerak adanya globalisasi. Salah satunya yaitu runtuhnya imperium Uni Soviet, munculnya mkanisme pemerintahan internasional dan organisasi regional seperti PBB dan Uni Eropa, serta munculnya organisasi non pemerintah internasional dan antarpemerintahan.
cash. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tiga Kekuatan GlobalisasiOleh Nikolaus Powell Reressy Hari-hari ini peristiwa globalisasi tengah berlangsung secara masif di setiap negara di muka bumi ini. Setidaknya ada 3 tiga kekuatan utama globalisasi, yaitu i political force, ii economic force, dan iii information technology. Pertama, political force, adalah kekuatan politik yang berlangsung dengan mengusung jargon demokratisasi. Tujuan utama dari proses demokratisasi itu sendiri adalah untuk membebaskan manusia, atau untuk mengemansipasi manusia, membuat manusia setara satu sama lainnya. Dengan kata lain, hak-hak manusia sebagai manusia merupakan prasyarat mutlak dalam proses demokratisasi itu sendiri, sehingga akses setiap manusia baca warga negara terhadap kesehatan, pendidikan, infrastruktur publik, pekerjaan yang layak, dst, menjadi penting untuk dijamin penyelenggaraannya. Anti tesis dari proses demokratisasi itu adalah; demokratisasi, di satu sisi, berwajah pembebasan demokrasi substansial, tetapi di lain sisi kemudian menimbulkan pelbagai permasalahan baru, manakala aktor-aktor penyelenggaranya tidak memiliki cukup komitmen. Praktika demokrasi prosedural di banyak negara berkembang dengan gamblang menunjukkan kejadian ini. Kekuatan globalisasi yang kedua adalah economic force. Jargon utama dari kekuatan ekonomi ini adalah kapitalisme yang menggenggam dunia dengan pelbagai perusahaan multi nasional multi national corporation-nya. Tujuan utama dari kekuatan ekonomi ini adalah menciptakan situasi saling ketergantungan interdependency, sehingga setiap aktor, di setiap negara, menjadi memiliki posisi tawar yang sama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi negaranya masing-masing. Anti tesis dari proses kapitalisme ini adalah terciptanya situasi ketergantungan dependency dengan semangat konsumerisme hedonisme globalisasi yang ketiga adalah information technology. Jargon utama dari kekuatan teknologi informasi ini adalah penguasaan informasi dengan menggunakan teknologi digital yang bertujuan untuk mempermudah proses pengambilan keputusan afirmasi kebijakan di berbagai bidang, sehingga dalam rangka itu pula setiap aktor, di setiap negara, dapat saling bertukar informasi secara adil. Anti tesis-nya adalah adanya penguasaan informasi secara berlebihan oleh para penguasa jaringan teknologi informasi itu sendiri, sehingga distribusi dan akses terhadap informasi menjadi tidak seimbang. Pihak-pihak yang tidak memiliki cukup akses terhadap penguasaan informasi yang valid itu akan terus hidup di bawah kendali para penguasa informasi. Itulah tiga kekuatan utama globalisasi yang dari hari ke hari terus bergerak dengan cepat dan terus pula berkembang secara masif. Catatan kritisnya adalah, sampai hari ini “cita-cita mulia” globalisasi ternyata tidak tercapai, dan justru ketergantungan dependency-lah yang terjadi. Atau jika dibalik, jangan-jangan tujuan utama dari globalisasi adalah menciptakan situasi ketergantungan itu sendiri by design? Lebih celaka lagi, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang justru menikmati’ situasi ketergantungan Berbagai sumber Lihat Politik Selengkapnya
Secara Umum, globalisasi dipahami oleh George Ritzer sebagai suatu proses penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama. Sementara menurut Anthony Giddens, globalisasi merupakan intensifikasi relasi sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi pada jarak bermil-mil dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan terintegrasinya segala aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, informasi, sistem politik sampai aspek budaya. PENDEK KATA, globalisasi telah membuat bumi yang kita diami ini seakan-akan seperti desa global yang saling terkoneksi dengan cepatnya antara satu dengan yang lainnya. Menggunakan kecanggihan teknologi, globalisasi membanjiri segenap penjuru dunia dengan arus informasi yang dengan mudahnya dapat diakses oleh setiap orang. Secara ekonomi, politik dan budaya, dunia seakan-akan tanpa sekat teritorial negara karena semuanya seakan menjadi satu dalam sebuah dunia. Globalisasi secara masif diberlakukan di seluruh dunia sejak tahun 1980 seiring dengan kian dominannya Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dalam percaturan dunia setelah kolapsnya Uni Sovyet dengan Blok Timurnya. Sebagai sebuah sistem, globalisasi tentu memunculkan dampaknya terhadap masyarakat dunia. Pada satu sisi, globalisasi berdampak positif bagi upaya memperoleh standar hidup yang layak. Hal ini karena globalisasi menyediakan arena berkompetisi yang sama bagi setiap negara untuk memanfaatkan peluang yang disediakan. Fenomena kesuksesan Tiongkok dan India yang memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan globalisasi sehingga perekonomiannya mengalami peningkatan, bahkan kemudian menjadi dua kekuatan baru ekonomi dunia layak dikemukakan sebagai contoh. Akan tetapi sebaliknya, globalisasi ternyata juga memunculkan ekses negatif di seluruh dunia. Menurut Petras and Veltmeyer, globalisasi hanya dinikmati oleh negara-Negara Maju, sementara negara-negara Dunia Ketiga hanya berperan sebagai penonton, bahkan menjadi korban dari beragam ekses negatif yang ditimbulkannya. Menurut Shiva, globalisasi juga memarginalisasi petani yang ada di negara-negara Dunia Ketiga karena berbagai aturan perdagangan global membuat mereka semakin terpinggirkan, bahkan tercerabut dari sistem, profesi dan cara hidup yang selama ini dilakoninya. Globalisasi juga diklaim Tauli-Corpuz justru mengikis sistem ekonomi dan kebudayaan lokal yang ada di negara-negara Dunia Ketiga karena proyek-proyek yang dibiayai oleh badan kapital IMF lebih banyak dilaksanakan di daerah-daerah tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu dengan penduduk lokal. Hirst and Thomspon juga mengatakan bahwa globalisasi yang diklaim sebagai sarana menuju kesejahteraan masyarakat dunia ini tidak lebih hanya sebuah mitos. Karenanya, Hirst and Thomspon mengajukan lima argumen untuk mendasari kesimpulannya tersebut. Pertama, keterbukaan ekonomi internasional yang dijadikan jurus jitu para pendukung globalisasi untuk menarik simpati dunia sesungguhnya tidak lebih terbuka dibandingkan tahun 1870 sampai 1914. Kedua, eksistensi perusahaan transnasional murni sebagai salah satu agen globalisasi sulit ditemukan karena meskipun berbasis nasional, tetapi pemasarannya menjangkau lintas negara dan internasional untuk memperkuat aset nasional, produksi dan penjualannya. Ketiga, mobilitas modal yang diklaim para pendukung globalisasi akan mengalir deras ke Dunia Ketiga tidak sepenuhnya menjadi kenyataan karena lebih terkonsentrasi di negara-Negara Maju, sementara Dunia Ketiga tetap berada pada posisi terpinggirkan. Keempat, tujuan akan terciptanya ekonomi sebagaimana yang diklaim para pendukung globalisasi sesungguhnya tidak benar-benar terjadi karena arus perdagangan, investasi dan keuangan global lebih banyak berkonsentrasi di Tri Tunggal Eropa Inggris, Perancis dan Jerman, Jepang dan Amerika Utara, termasuk juga Tiongkok dan India. Terakhir, oleh karena tidak merata di seluruh dunia, maka Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Amerika Serikat dan Kanada mengendalikan setiap aspek ekonomi dunia sejalan dengan tujuannya. Sejalan dengan Hirst and Thomspon, Tandon mengajukan fakta terkait tidak globalnya perekonomian dunia karena hanya dikuasai dan didominasi oleh tiga kekuatan dunia. Ketiga kekuatan utama dunia yang dinamai sebagai Triad tersebut adalah Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia Timur menguasai sumberdaya yang dimiliki kawasan yang dihegemoninya hinterland. Menurut Samir Amin, globalisasi adalah metamorphosis dari penjajahan ketiga yang dilakukan Barat terhadap Dunia Ketiga, setelah sebelumnya mempraktikkan merkantilisme dan imperialisme. Seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet, maka pola imperialisme dalam format globalisasi yang dilakukan untuk memperkuat Trio Pusat Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang mendapatkan dukungan dari beberapa kekuatan, yaitu wewenang untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain yang diperkuat oleh demokrasi, hak rakyat dan kemanusiaan. Hal ini semakin diperkuat dengan strategi unjuk kekuatan militer Barat di berbagai negara yang berafiliasi dengannya untuk memastikan hegemoninya tetap kuat. Chakrabarty mengatakan bahwa globalisasi tidak lain merupakan manifestasi dari ambisi Eropa membangun kembali hegemoninya menggunakan serangkaian praktik imperialisme sejarah di negara-negara Dunia Ketiga. Demikian sederet dampak dan pandangan positif dan negatif dari pemberlakukan globalisasi di seluruh dunia yang ditengarai oleh banyak kalangan. Di samping beberapa dampak di atas, globalisasi juga memunculkan perdebatan di kalangan ahli mengenai peran negara atau pemerintah dalam pembangunan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa globalisasi telah membuat bumi ini seakan seperti sebuah desa yang tidak disekat oleh batas-batas teritorial negara. Terintegrasinya dunia secara politik, ekonomi, budaya dan informasi membuat orang-orang dengan mudahnya dapat saling berinteraksi dan memanfaatkan peluang tanpa terkendala dengan status negara di manapun dan kapanpun. Akibatnya, batas-batas fisik terirorial negara melebur sehingga dengan demikian pemerintah pun dianggap tidak memiliki banyak peranan dalam pembangunan. Isu peran yang dimainkan negara atau pemerintah menjadi salah satu tema sentral dalam perdebatan seputar globalisasi. Hal ini karena sebagai pihak yang diserahkan tanggungjawab pengelolaan negara, pemerintah sebagai manifestasi negara seharusnya berperan aktif dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya. Peran dimaksud mewujudkan diri dalam kebijakan-kebijakan publik yang dimaknai oleh Steven A. Peterson sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi beragam masalah. Begitu pula kebijakan publik yang dipahami oleh Leo Agustino sebagai sebuah tindakan yang dilakukan pihak oleh berwenang, memiliki maksud atau tujuan tertentu, tidak bersifat acak atau terencana, memiliki sasaran dan berorientasi pada tujuan, serta berlandaskan pada aturan yang berlaku. Globalisasi dengan segala dampaknya perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar ekses positifnya dapat dimanfaatkan dengan baik dan ekses negatifnya dapat dihindari oleh rakyat. Sebagai pihak yang secara konstitusional berperan penting dalam sebuah negara, pemerintah tidak selamanya menjadi pemain tunggal dalam pengelolaan negerinya. Catatan sejarah mengungkapkan dinamisnya peran yang dimainkan pemerintah dalam pembangunan negara. Ada saat ketika pemerintah sangat berperan, bahkan sangat absolut, dalam melakukan pembangunan dalam sebuah negara, akan tetapi ada pula masa dimana pemerintah tidak lebih sebagai pelengkap saja. Menurut Budi Winarno, peran negara dalam pembangunan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu peran negara era tahun 1950-1960-an dan peran negara era 1970-an sampai sekarang. Peran yang dimainkan negara di masa sebelum 1970-an sangat signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan suatu bangsa, tetapi setelah tahun 1970 sampai sekarang terjadi pemangkasan peran yang dimainkan negara. Perdebatan mengenai peran yang dijalan negara atau pemerintah dalam pembangunan ini menurut Anthony Giddens memunculkan dua kelompok besar yang masing-masing melahirkan teori, yaitu kelompok radikal di satu sisi dan kelompok skeptis di sisi yang lain. Secara umum, kelompok radikal diidentifikasikan sebagai kumpulan pemikir sosial yang mendukung globalisasi karena menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia, sementara skeptis dikenal sebagai kelompok intelektual yang meragukan kemungkinannya, bahkan menentang keberadaannya. Sebagai upaya mendukung pendapatnya, masing-masing kelompok ini mengajukan beragam asumsi dan data yang dimilikinya. Peran negara dalam pembangunan dimulai selama Perang Dunia Kedua dengan mengendalikan seluruh kekuatan nasional. Menurut Abidin, peran pemerintah semakin signifikan setelah berakhirnya perang yang telah merusak beragam infrastruktur untuk meyakinkan rakyat akan keperluan pembangunan dan mengajaknya berpartisipasi, proses nasionalisasi beragam lembaga ekonomi yang ditinggalkan penjajah, koordinasi dan komplemantaritas antar berbagai industri dan bisnis, dan melakukan pembangunan berencana yang terpusat. Teori Keynes menjadi landasan perlunya intervensi pemerintah dalam setiap aspek pembangunan yang diwujudkan dengan Program Marshall Plan sehingga mengantarkan Amerika dan Eropa berjaya dalam bidang ekonomi dan lain sebagainya. Langkah ini juga diikuti oleh beragam negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia yang menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita, Malaysia yang menerapkan berbagai kebijakan untuk memacu industrialisasi berturut-turut mulai tahun 1970 sampai tahun 1995 dan India yang membentuk Komisi Perencanaan Nasional sebagai upaya mendorong Rencana Lima Tahunan. Menurut Kamal Mathur, terdapat tiga cara yang dilakukan negara di masa sebelum tahun 1970 dalam upaya membangun bangsa, yaitu melalui belanja pemerintah, melalui mobilisasi sumberdaya dan melalui partisipasi dalam produksi industrial yang dilaksanakan dalam tiga wilayah kebijakan investasi, perdagangan dan finansial. Wilayah pertama dilakukan negara dengan cara menerbitkan beragam kebijakan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya menarik minat para investasi asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal yang sama juga dilakukan negara terkait dengan kebijakan-kebijakan pada aspek perdagangan dan finansial yang berintikan penciptaan iklim yang memungkinkan perekonomian dapat berkembang dengan baik. Terkait dengan hal ini, Michael Todaro mengungkapkan faktor-faktor yang mendasari diperlukannya peran negara dalam pembangunan, yaitu kegagalan pasar, mobilisasi sumberdaya dan dampak psikologis. Kegagalan pasar dalam menstabilisasikan komoditas dan harga berdampak pada mislokasi sumberdaya yang dapat berbahaya di masa mendatang. Mobilisasi sumberdaya diperlukan karena negara-negara berkembang umumnya menghadapi kendala kualitas sumberdaya manusia sehingga dengan adanya peran pemerintah membuat arah pembangunan menjadi lebih fokus. Dengan peran negara yang kuat dan dominan akan berdampak psikologis bagi masyarakat sehingga akan tercipta pembangunan yang dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Peran negara yang dominan dalam pembangunan setelah Perang Dunia Kedua mulai mendapatkan kritikan yang dimulai pada tahun 1970 seiring dengan melambatnya perekonomian Amerika dan Eropa setelah berjaya selama hampir 25 tahun. Upaya mengurangi peran negara pertama kali dilakukan oleh Inggris di masa Perdana Menteri Margareth Thatcher dan di Amerika Serikat di bawah Presiden Ronald Reagan. Pengurangan peran negara dilakukan Thatcher terhadap empat wilayah publik, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan, santunan pengangguran dan pensiunan hari tua. Berbeda dengan di masa sebelum 1970 yang berparadigma state-led development, pemangkasan peran negara setelah kemenangan Kelompok Neoliberal di Eropa dan Amerika Serikat menggeser cara pandang kebijakan menjadi market-led development. Kritikan terhadap paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan dan pemangkasan peran negara dalam pembangunan ini dilancarkan oleh kalangan yang berperspektif radikal. Hal ini karena globalisasi menurut kelompok ini dipahami sebagai sejarah baru yang terjadi dalam kehidupan manusia yang menempatkan negara tradisional menjadi tidak lagi relevan, terutama dalam konteks unit-unit bisnis yang ada dalam sebuah ekonomi global. Bagi kaum radikal, batas-batas negara bukan waktunya lagi untuk dijadikan topik bahasan karena globalisasi sudah meluluhlantakkannya. Di samping itu, dominannya peran negara dalam urusan-urusan perekonomian sebagaimana yang dipraktikkan sebelum tahun 1970 diklaim sebagai kekangan dan kungkungan yang menghambat efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya dunia yang langka. Kenichi Ohmae merupakan salah satu tokoh radikal yang mengusulkan pemangkasan peran negara agar tujuan-tujuan globalisasi dalam digapai dengan sukses. Terkait dengan ini, Ohmae mengajukan empat alasan yang memperkuat pandangannya mengenai marginalisasi peran negara yang disebutnya sebagai Faktor “iâ€. Investasi merupakan faktor “i†pertama, karena sebaran dana dapat menyebar ke tempat-tempat yang justru berada di luar wilayah asal dana tersebut. Faktor “i†kedua adalah industri, karena ekspansinya sudah tidak mengenal lagi batas-batas negara, tetapi berdasarkan pada pertimbangan pangsa pasar sehingga banyak perusahaan yang justru beroperasi jauh berada di luar wilayah asalnya. Teknologi informasi menjadi faktor “i†ketiga, karena pesatnya perkembangan kedua entitas ini sehingga mampu melintasi batas-batas negara, bahkan hanya dalam hitungan detik saja. Faktor “i†terakhir yang memperkuat pandangan Ohmae akan marginalisasi peran negara adalah konsumen-konsumen individual yang berorientasi global sudah dapat mengakses berbagai kebutuhan di seluruh dunia karena kemajuan teknologi informasi, tanpa terhambat oleh batas-batas negara. Diskursus peran negara dalam pembangunan di era globalisasi ternyata belum berakhir dengan bergesernya kebijakan menjadi market-led development yang didukung oleh beberapa kalangan. Menurut Holton dan Wolf, pemangkasan peran negara dalam globalisasi justru melupakan sejarah karena perkembangan pesat globalisasi yang dijadikan alasan kelompok pendukungnya tidak dapat disangkal merupakan peran negara. Negara-negara yang menjadi aktor utama globalisasi Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia Timur saat ini bisa mendapatkan keuntungan yang besar melalui korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga internasional merupakan implikasi dari peran negara melalui beragam kebijakan yang dihasilkannya. Di samping itu, Holton dan Wolf juga mengatakan bahwa korporasi-korporasi dan lembaga-lembaga internasional yang menjadi agen utama globalisasi tentu membutuhkan arena wilayah untuk memainkan peranannya yang tentunya secara politik diwakili oleh negara. Masih dalam konteks yang sama, Singh juga mengatakan bahwa peran negara justru semakin kuat dan sangat layak untuk dikemukakan di era globalisasi. Sebagai upaya menguatkan pendapatnya, Singh mengajukan beberapa alasan pembenar terkait semakin menguatnya peran negara di tengah masifnya kegiatan globalisasi di seluruh dunia. Alasan pertama, tidak semua negara berkurang atau melemah peranannya di era globalisasi, karena tingkatannya sangat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, tergantung dengan ukuran, kekuatan militer, dan kekuatan negara. Sebagai kekuatan utama dunia dan aktor utama globalisasi, peran Amerika Serikat tentu tidak melemah dibandingkan dengan beberapa negara Dunia Ketiga yang ada di Asia dan Afrika karena tingkatan ukuran, kekuatan militer dan kekuatan negaranya sangat berbeda. Faktor penguat kedua adalah secara finansial ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menjadi bagian dari globalisasi tidak begitu signifikan menggerogoti keuangan negara. Hal ini karena sebuah negara yang semakin terintegrasi dengan negara-negara lainnya, maka pengeluaran negara akan cenderung bertambah daripada berkurang. Faktor ketiga, privatisasi sektor publik yang menjadi prasyarat bagi globalisasi yang disyaratkan oleh salah satu aktornya IMF bukan berarti penolakan terhadap intervensi negara. Hal ini karena, meskipun privatisasi di satu sisi dapat menyebabkan penurunan kepemilikan publik, namun di lain sisi kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan regulasi negara melalui pembentukan otoritas, kebijakan regulasi persaingan, norma keterbukaan, dan langkah-langkah kebijakan baru lainnya. Faktor terakhir, meskipun peran negara akan berkurang pada aspek ekonomi, namun di sektor-sektor lain peran negara akan meningkat secara signifikan, seperti meningkatnya sikap represif negara terhadap rakyatnya yang melakukan protes terhadap program pemerintah yang dianggap menguntungkan korporasi asing. Memperkuat pandangan-pandangan di atas, Budi Winarno mengajukan dua alasan yang mendasari sangat signifikannya peran negara di era globalisasi ini. Pertama, sebagai implikasi dari kolonialisme di masa lalu dan globalisasi di masa sekarang ini, banyak rakyat di Dunia Ketiga yang masih bergelimang dengan ketidakberdayaan dan kemiskinan. Kondisi ini tentu membutuhkan peran negara untuk melakukan pembangunan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka agar bisa sejajar dengan negara-negara lainnya. Kedua, sistem globalisasi melalui mekanisme pasar tidak boleh dibiarkan terus mendominasi setiap aspek kehidupan rakyat karena cara ini tidak menjamin keadilan dalam distribusi pendapatan rakyat. Agar masing-masing rakyat mendapatkan haknya untuk hidup secara lebih baik maka diperlukan peran negara yang mengatasinya melalui pembangunan yang mendukung terpenuhinya aspirasi rakyat. Budi Winarno lebih lanjut juga mengungkapkan fakta beberapa negara yang pernah dihantam krisis dan mampu mengatasinya karena peran efektif pemerintahnya, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Malaysia. Melalui tindakan pemerintah dengan seperangkat birokrasinya yang efektif, Korea Selatan dan Malaysia berhasil mengatasi krisis moneter dan ekonomi yang melanda keduanya serta mampu bangkit dari keterpurukan. Sebaliknya, oleh karena ketiadaan peranan yang efektif dari negara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Korea Selatan dan Malaysia, Indonesia tidak berhasil mengatasi krisis moneter serta ekonomi yang membelitnya dan dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Berlandaskan pada pandangan kalangan skeptis dengan sederet argumentasi dan faktanya di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran negara dalam pembangunan justru harus tetap ada atau harus diperkuat. Terkait dengan diskursus peran signifikan negara dalam mengatasi masalah-masalah publik ini, maka paradigma New Public Service NPM layak dikedepankan. Konsep yang diusung oleh Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart ini merupakan kritikan terhadap Reinventing Government yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Sebagai kritikan terhadap bentuk lain dari New Public Management NPM yang menjadi paradigma mainstream dalam diskursus peran Negara ini, NPS mengganggap bahwa menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan mengelola organisasi bisnis, hal ini karena harus digerakkan sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa customer, tetapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik. Berbeda dengan Reinventing Governance yang diusung NPM, Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara citizen, bukan sebagai pelanggan customer. Peran negara yang dijalankan oleh para birokratnya tidak sekedar melakukan kegiatan yang dapat memuaskan pelanggan, tetapi juga memberikan hak warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Perspektif yang diusung NPS ini diilhami oleh warisan intelektual yang dipersembahkan oleh orang-orang yang menaruh perhatian terhadap pelayanan publik. Menurut Dernhart, kelahiran NPS terinspirasi oleh 4 empat komponen yang lebih kontemporer dari layanan publik, yaitu 1 teori warga negara demokratis, 2 model komunitas dan masyarakat sipil, 3 humanisme organisasional dan administrasi publik baru, dan 4 administrasi publik modern. Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan urusan publik. Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara, bisnis, maupun masyarakat sipil. Berdasarkan paradigma NPS, peran negara yang dijalankan oleh para birokratnya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana berikut ini Melayani Warga Negara, bukan Pelanggan Kepentingan publik adalah hasil suatu dialog tentang nilai-nilai bersama ketimbang kumpulan kepentingan-diri individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya bertanggungjawab kepada tuntutan “para pelangganâ€, tetapi lebih tepatnya berfokus pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara; Mengusahakan Kepentingan Publik Para administrator publik harus member sumbangan untuk membangun suatu gagasan kolektif kepentingan publik yang dianut bersama. Tujuannya ialah bukan untuk menemukan solusi-solusi cepat yang didorong oleh pilihan-pilihan individual. Lebih tepatnya, adalah menciptakan kepentingan-kepentingan bersama dan tanggungjawab bersama; Menghargai Warga Negara melebihi Kewirausahaan Kepentingan publik lebih baik dimajukan oleh pelayan publik dan warga negara yang bertekad memberikan sumbangan bermakna kepada masyarakat ketimbang oleh manajer usahawan yang bertindak seakan-akan uang publik itu adalah milik mereka sendiri; Berpikir Secara Strategis, Bertindak Secara Demokratis Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara paling efektif dan paling bertanggungjawab melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif; Mengakui bahwa Akuntabilitas tidak Sederhana Pelayan publik harus lebih memerhatikan ketimbang pasar; mereka juga harus mematuhi undang-undang dan hukum konstitusional, nilai komunitas, norma politik, standar professional, dan kepentingan warga negara; Melayani bukan Menyetir Semakin penting bagi para pelayan publik untuk menggunakan kepemimpinan berbasis nilai yang dianut bersama dalam membantu warga negara mengutarakan secara jelas dan memenuhi kepentingan bersama mereka ketimbang berusaha mengendalikan atau menyetir masyarakat dalam arah-arah yang baru; Menghargai Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas Organisasi publik dan jaringan tempat mereka berpartisipasi lebih mungkin berhasil dalam jangka panjang jika mereka bekerja melalui proses-proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan terhadap semua orang. Berdasarkan perspektif NPS di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa birokrasi harus dibangun agar dapat memberikan perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara bukan sebagai pelanggan, mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis, memerhatikan norma, nilai dan standar yang ada dan menghargai masyarakat dalam artian keterlibatan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat penting. Mengadopsi konsep New Public Service NPS di atas, maka dapat dikatakan bahwa peran negara/pemerintah justru akan semakin signifikan di era globalisasi. Implementasi dari konsep New Public Service NPS ini pada satu sisi akan membuat negara/pemerintah melalui birokrasinya mampu menyikapi perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi dalam skala global secara arif dan bijaksana, serta di sisi lainnya akan dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik yang prima. Hal ini karena masyarakat harus mendapatkan pelayanan yang baik sebagai warga negara, bahkan harus lebih baik dari pelayanan yang diberikan terhadap seorang pelanggan. Penyikapan pemerintah terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di skala global tersebut tentu akan diikuti dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung kepentingan rakyat, sehingga perannya sebagai pelayan masyarakat tetap terus berlangsung. Pada konteks ini, seiring dengan arus globalisasi yang melahirkan banyak persoalan dampak negatifnya, seharusnya pemerintah harus berperan lebih dominan dalam membantu rakyat mengatasi beragam problem yang mereka hadapi. Tidak seperti sistem birokrasi lama yang menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, tetapi pemerintah harus berinovasi melahirkan kebijakan solutif bagi terpecahkannya persoalan-persoalan yang dialami rakyat dalam hubungannya dengan globalisasi. Berlandaskan pada konsep New Public Service NPS, pemerintah melalui sistem birokrasi yang dimilikinya bersama dengan stakeholders lainnya seharusnya mampu berinovasi menciptakan terobosan solusi bagi masalah yang dihadapi rakyat. Salah satu contoh yang dapat diterapkan bagaimana signifikannya peran pemerintah di era globalisasi adalah terkait dengan petani karet. Melalui implementasi peranannya, pemerintah dapat membalikkan posisi karet yang selama ini diperuntukkan bagi ekspor 80 persen, menjadi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengambil kebijakan pemanfaatan karet untuk memenuhi keperluan dalam negeri, campuran aspal salah satunya. Oleh karena dalam negeri sendiri yang memanfaatkannya, maka penghasilan petani karet akan meningkat karena harga karet yang selama ini ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara pengimpor, dapat ditetapkan sendiri oleh pemerintah sebagai pengguna utamanya. Contoh lainnya adalah kebijakan-kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Merangin, seperti pengembangan wisata alam, revitalisasi lubuk larangan dan lain sebagainya. Atau kebijakan-kebijakan berbasis potensi dan kebutuhan masyarakat perkotaan yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Jambi melalui Kampung Bantar dan lain sebagainya. Pendek kata, pemerintah, khususnya pemerintah daerah pasca otonomi daerah dapat berperan secara optimal melalui serangkaian kebijakan inovatif-solutifnya agar kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Semoga… Dr. H. Pahrudin HM, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Jambi Post Views 4,470
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Diera globalisasi seperti saat ini banyak bermunculan pengaruh-pengaruh kebudayaan luar, hal ini yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang menganut kebudayaan barat. Ini menyebabkan lunturnya nilai nasionalisme dikalangan masyarakat terutama kalangan remaja. Banyak dari mereka justru meniru kebudayaan barat yang mengakibatkan lunturnya budaya sendiri. Globalisasi hadir membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang menimbulkan perdebatan menyangkut kaitannya dengan demokrasi. Setidaknya, globalisasi informasi telah mendorong penyebaran gagasan-gagasan tentang demokrasi ke seluruh dunia melalui kecanggihan teknologi. Dan karena globalisasi juga daya tahan suatu rezim pemerintahan menjadi terancam. Selain sukarnya penerapan prinsip kesetaraan yang merujuk pada konsep MULA NASIONALISME dan KEDAULATAN NEGARAMenurut Anderson 2001 berpendapat bahwa nasionalisme belandaskan persatuan dari komunitas-komunitas yang dibayangkan. Kesatuan ini disatukan oleh sebuah persaudaraan yang setara sehingga menciptakan entitas yang utuh. Nasionalisme terbentuk dari kesamaan stimulus sehingga .perasaan kebangsaan yang terbentuk adalahsama. Nasionalisme di Indonesia diawali dengan dibentuknya Syarikat Islam/SI sebelumnya Syarikat Dagang Islam/SDI. Peran SDI dalam nasionalisme bermula ketika H. O. S. Tjokroaminoto mengubah SDI menjadi Syarikat Islam, tidak hanya berkutat di soal perdagangan. Jika sebelumnya SDI berhubungan dengan ekonomi dan sosial, Tjokoraminoto menjadikan SI juga menyinggung tentang politik dan agama. Hal ini tampak dalam kegiatan SI yang menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial."kedaulatan negara" atau staatssouvereiniteit memang pada awalnya terkandung dan dikandung di dalamnya suatu pengertian "negara yang berdaulat/berkuasa penuh". Terutama di zaman pertengahan, maka Kaisar Jerman mengklaim menuntut sebagai haknya untuk dianggap oleh seluruh dunia sebagai pemilik kekuasaan mutlak. Atau setidak-tidaknya oleh seluruh Jerman, bahwa dia adalah satu-satunya souverein yang berkuasa penuh sepenuh-penuhnya. Sebagai kepala dari keseluruhan dunia Kristen, sebagai pewaris dari Kaisar Romawi. Dengan begitu, timbullah pengartian baru dari souvereiniteit/kedaulatan itu. Yakni, hubungan antar negara yang bebas/merdeka itu tidak tunduk/dijajah oleh negara lain. Arus globalisasi dan demokratisasi tidak mengenal ruang dan waktu, dan bahkan tak mengenal sasaran negara. Kuatnya arus globalisasi dan demokratisasi tersebut "memaksa" peran politik negara untuk melindungi kedaulatan politik nasionalnya. Namun meskipun telah dibuat berbagai regulasi untuk menguatkan kedaulatan politik nasional, bukan berarti arus globalisasi dan demokratisasi tidak menyeruak ke akar rumput. Gairah berdemokrasi justru semakin menyeruak di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang selama ini menjadi "korban politik dan ekonomi" pusat semakin mendapatkan momentumnya untuk bereaksi dan beraksi sesuai dengan kesadaran politik dan politik identitas yang dimilikinya. Dengan kata lain, politik identitas di berbagai daerah semakin menguat seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi. Contoh yang paling ekstrem adalah munculnya berbagai gejolak politik dan bahkan gerakan separatisme yang mengatasnamakan "kebebasan politik dan demokratisasi". Masyarakat menginginkan ruang kebebasan berekspresi dan berpolitik. Negara harus memberikan ruang kebebasan bagi warganya untuk telah mengubah kehidupan manusia sehari-hari, terutama di negara-negara berkembang, sekaligus secara bersamaan menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan trans-nasional baru. Globalisasi bukan semata-mata kebijakan-kebijakan kontemporer, tetapi justru mentransformasikan institusi-institusi masyarakat di mana masyarakat itu berada. Globalisasi, dalam klaim para globalis, akan membawa kehidupan demokratis ke seluruh dunia sebagai wujud kehidupan yang paling baik. Namun kenyataannya justru sangat kontradiktif, globalisasi telah menciptakan kekuasaan-kekuasaan global yang bersifat otoriter-oligarkis melalui Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang bekerja sama dengan negara-negara kaya. Karena itu, yang berdaulat dalam era globalisasi bukanlah rakyat sebagaimana dikehendaki demokratisasi, tetapi korporasi-korporasi internasional dan lembaga-lembaga keuangan dua perspektif yang dapat menjelaskan hubungan demokratisasi dan gerakan anti-globalisasi, yaitu perspektif anti- globalisasi dan perspektif demokratisasi. Anti-globalisasi adalah sebuah ideologi perlawanan untuk mengakhiri kekuatan korporasi multinasional, IMF, Bank Dunia, dan WTO sebagai instrumen kesepakatan global untuk pertumbuhan ekonomi. Sedangkan demokratisasi adalah realitas faktual perluasan demokrasi sebagai solusi bagi penciptaan kehidupan manusia yang lebih adil dan sejahtera. Gerakan Anti-Globalisasi lahir sebagai koreksi besar terhadap klaim para globalis. Gerakan ini menghendaki terwujudnya demokratisasi yang seutuhnya, yaitu, terwujudnya kedaulatan rakyat yang telah hilang akibat globalisasi dan terpenuhinya kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat dan terjaminnya hak-hak sipil Era globalisasi yang serba terbuka ini membuat paham atau pandangan mengenai demokrasi menjadi luas. Keterbukaan ini memaksa peran negara untuk melindungi kedaulatan politik nasionalnya. Globalisasi bukan semata-mata kebijakan-kebijakan kontemporer, tetapi justru mentransformasikan institusi-institusi masyarakat di mana masyarakat itu berada. globalisasi telah menciptakan kekuasaan-kekuasaan global yang bersifat otoriter-oligarkis melalui Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang bekerja sama dengan negara-negara kaya. Karena itu, yang berdaulat dalam era globalisasi bukanlah rakyat sebagaimana dikehendaki demokratisasi, tetapi korporasi-korporasi internasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Untuk itu perlunya regulasi atau kebijakan yang mengatur kehidupan demokrasi bangsa agar asas demokrasi tetap terjaga dan tidak memudar seiring perkembangan zaman. Untuk itu perlu adanya kontribusi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dalam menjalankan kebijakan pemerintahan dan demokrasi guna mempertahankan kedaulatan negara sesuai dengan asas demokrasi yang sesungguhnya. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
peristiwa politik yang menjadi kekuatan penggerak globalisasi yaitu